Di malam yang dingin
Senyum dari bibir merahmu
Tatapan penuh harap dari kedua bola mata cokelat beningmu, dan
kelingking yang saling bertaut
sudah cukup membuatku hangat
Janji untuk takkan pernah saling pergi, selamanya
Membuatku aman dan nyaman untuk pertama kali dalam hidup
Tiba-tiba, air mukamu berubah menjadi sendu dan penuh sesal
Ternyata petir datang menghadang, menyengat, menusuk dan menghancurkan apa yang telah kubangun.
Menyadarkanku dari mimpi panjangku
Salah siapa? Salahmu? Salahku?
Bukan, namun mungkin keadaan dan hujan yang selalu mengalir deras kala senja
Kita berdifusi di waktu yang salah, di saat seluruh elemen yang melingkupi sesungguhnya belum pernah siap
Nafasmu telah mengalir dalam nadiku bagaikan oksigen
Yang tak kusadari, menghidupkan, sekaligus membuatku mati perlahan
Sebelum aku masuk ke hidupmu lebih dalam lagi, ijinkan aku untuk terdialisis
dalam air mata yang mengalir di malam menjelang pagi penuh kabut ini
Memberi jarak, ruang, dan waktu
Untuk kita
Namun kemudian, katamu, "Jangan pergi", sambil menarik tanganku erat
Seketika aku teringat kembali janjiku, untuk takkan pernah pergi.
Dan pelukmu selalu menjadi satu-satunya tempat untuk pulang.